“Salah satu ciri seorang pemenang
adalah memiliki kebiasaan bangun di pagi hari. Mereka tidak
menyia-nyiakan kesempatan yang tidak akan datang kedua kali sepanjang
hidupnya.”
Jangan kalah dengan Ayam

Ayam dan semua binatang di alam semesta ini, tidak akan dimintai
pertanggungjawaban terhadap usia yang telah dihabiskannya di dunia.
Mereka tidak dibebankan memikul kewajiban di pundaknya. Sedangkan kita –
para manusia – adalah mahluk yang penuh resiko. Segala perbuatan kita –
baik atau buruk – akan dimintai pertanggugjawaban di sisi Allah SWT.
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Isra’ ayat 36: “Dan janganlah
kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua akan dimintai
pertanggungan jawabnya.”
Dan dalam surat Fushsilat ayat 22 : “kamu sekali-kali tidak dapat
bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan, dan kulitmu
padamu, bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari
apa yang kamu kerjakan.”
Dari Abu Barzah Nadlah bin Ubaid Al-Aslamiy RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Kedua
kaki seseorang tidak akan bergerak, sebelum ditanya tentang umurnya,
untuk apa ia habiskan. Tentang ilmunya, untuk apa ia pergunakan. Tentang
hartanya, dari mana ia peroleh dan untuk apa ia belanjakan. Dan tentang
badannya, untuk apa ia rusakkan.” (HR. At-Tirmidzi)
Pertanggungjawaban di akhirat sangatlah berat. Segala perbuatan kita
akan dikupas habis di akhirat nanti. Itulah sebabnya, banyak diantara
orang-orang saleh mengeluh. Seandainya bisa, mereka tidak ingin
dijadikan sebagai manusia. Seandainya bisa, pada hari kebangkitan nanti
mereka menjadi benda lain, asal bukan menjadi manusia.
Inilah penuturan Abu Bakar Ash-Shidiq, “Aku hanya ingin menjadi sepotong rambut di samping seorang hamba yang mukmin.” Inilah penuturan Umar bin Khatab RA sambil tangannnya mengambil segenggam tanah: “Seandainya
aku hanya seperti segenggam tanah ini. Seandainya aku tidak diciptakan
menjadi manusia. Seandainya ibuku tidak melahirkanku, seandainya aku
tidak jadi apa-apa, dan seandainya sama sekali tidak diingat orang.”
Padahal kita tahu mereka berdua adalah para Sahabat terbaik
Rasulullah SAW yang telah dijamin masuk surga. Namun, rasa takutnya
kepada Allah menyebabkan kegembiraan itu seakan lenyap, dan yang ada
dipelupuk mata adalah besarnya pertanggungjawaban yang harus dilaporkan
nanti di akhirat.
Pernyataan semacam itu bukan berarti tidak ridha terhadap takdir-Nya.
Pernyataan seperti itu mewakili perasaan takutnya terhadap siksa Allah
di akhirat. Alhasil seandainya bisa, pada saat hari pertanggungjawaban
itu mereka tidak ingin menjadi manusia.
Ayam adalah mahluk yang kehidupannya membawa manfaat dengan diambil
telur dan dagingnya. Ia adalah salah satu mahluk yang tidak akan
dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Meski demikian, ia memiliki
kebiasaan yang baik yakni suka bangun pagi – untuk menjemput rizkinya
dan disiplin pulang. Alhasil begitu fajar menyingsing mereka saling
bersahutan membangunkan para makhluk-Nya di alam mayapada ini.
Nah, jangan sampai kita kalah dengan ayam, sahabat. Ia senantiasa
terbangun menjelang fajar dengan kokok dan koteknya, kita justru masih
tidur mendengkur. Mereka sudah bergerak menjemput rizkinya, kita justru
masih berselimut mimpi-mimpi panjang.
Kita adalah makhluk yang kemuliaannya bisa mengungguli para malaikat,
sekaligus kehinaannya bisa mem-bawah-i para binatang. Saat kita menjadi
pribadi pribadi yang bertaqwa, kemuliaan kita akan mengungguli para
malaikat yang mulia. Sebaliknya, saat kita berlaku durhaka, derajat kita
bisa lebih rendah daripada binatang yang paling hina.
Menggunakan ayam sebagai pembanding, ibarat mengadu berlomba antara
sarjana dengan anak-anak TK. Jika menang tidak membawa kemuliaan,
sebaliknya bila kalah justru memalukan. Pelajaran yang bisa diambil
adalah jangan sampai kita kalah.
Bagaimana agar pertarungan itu tetap membawa kemuliaan? Petarung
sejati memilih bangun pagi lantaran malu kepada dirinya sendiri. Malu
bila dirinya penuh kemalasan. Padahal kampung dunia bukan tempat untuk
bermalas-malasan. Kampung dunia adalah tempat untuk bekerja keras.
Adapun kampung tempat bermalas-malasan adanya diakhirat – surga, karena
tidak ada lagi beban ibadah sebagaimana berlaku di dunia.
Ya, awalnya bersainglah dengan ayam dalam kecepatan bangun pagi.
Selanjutnya, tingkatkan pertarungan dengan melawan diri kita sendiri.
Adapun tingkatan malu yang lebih tinggi dari itu adalah rasa malu kita
kepada Allah SWT. Kita malu kepada-Nya lantaran sudah diberikan nikmat
yang sangat banyak, namun dipanggil sebentar saja enggan memenuhi.
Padahal Allah pun tidak sekedar memanggil, tetapi juga memberikan hadiah
istimewa – yakni pahala, surga, dan ridha-Nya.
Sumber: Dahsyatnya BANGUN PAGI, TAHAJUD, SUBUH & DHUHA – Fadlan al-Ikhwani
0 Response to "MEMBURU REZEKI DENGAN BANGUN PAGI"
Post a Comment