ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKAATUH ... SELAMAT DATANG DI BLOG MAS MAHFUD ALFU SAHRI, MARI KITA BELAJAR BERSAMA

MEMBURU REZEKI DENGAN BANGUN PAGI

“Salah satu ciri seorang pemenang adalah memiliki kebiasaan bangun di pagi hari. Mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan yang tidak akan datang kedua kali sepanjang hidupnya.”

Jangan kalah dengan Ayam

Lukman Al-Hakim, orang tua yang bijak yang namanya diabadikan dalam Al-Qur’an, pernah memberikan nasihat kepada putranya, “Wahai anakku, jangan sampai ayam jantan lebih cerdas daripada dirimu. Ia berkokok pada akhir malam, sementara engkau tertidur pulas.”

Ayam dan semua binatang di alam semesta ini, tidak akan dimintai pertanggungjawaban terhadap usia yang telah dihabiskannya di dunia. Mereka tidak dibebankan memikul kewajiban di pundaknya. Sedangkan kita – para manusia – adalah mahluk yang penuh resiko. Segala perbuatan kita – baik atau buruk – akan dimintai pertanggugjawaban di sisi Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Isra’ ayat 36: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua akan dimintai pertanggungan jawabnya.”

Dan dalam surat Fushsilat ayat 22 : “kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan, dan kulitmu padamu, bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan.”

Dari Abu Barzah Nadlah bin Ubaid Al-Aslamiy RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Kedua kaki seseorang tidak akan bergerak, sebelum ditanya tentang umurnya, untuk apa ia habiskan. Tentang ilmunya, untuk apa ia pergunakan. Tentang hartanya, dari mana ia peroleh dan untuk apa ia belanjakan. Dan tentang badannya, untuk apa ia rusakkan.” (HR. At-Tirmidzi)

Pertanggungjawaban di akhirat sangatlah berat. Segala perbuatan kita akan dikupas habis di akhirat nanti. Itulah sebabnya, banyak diantara orang-orang saleh mengeluh. Seandainya bisa, mereka tidak ingin dijadikan sebagai manusia. Seandainya bisa, pada hari kebangkitan nanti mereka menjadi benda lain, asal bukan menjadi manusia.

Inilah penuturan Abu Bakar Ash-Shidiq, “Aku hanya ingin menjadi sepotong rambut di samping seorang hamba yang mukmin.” Inilah penuturan Umar bin Khatab RA sambil tangannnya mengambil segenggam tanah: “Seandainya aku hanya seperti segenggam tanah ini. Seandainya aku tidak diciptakan menjadi manusia. Seandainya ibuku tidak melahirkanku, seandainya aku tidak jadi apa-apa, dan seandainya sama sekali tidak diingat orang.”

Padahal kita tahu mereka berdua adalah para Sahabat terbaik Rasulullah SAW yang telah dijamin masuk surga. Namun, rasa takutnya kepada Allah menyebabkan kegembiraan itu seakan lenyap, dan yang ada dipelupuk mata adalah besarnya pertanggungjawaban yang harus dilaporkan nanti di akhirat.

Pernyataan semacam itu bukan berarti tidak ridha terhadap takdir-Nya. Pernyataan seperti itu mewakili perasaan takutnya terhadap siksa Allah di akhirat. Alhasil seandainya bisa, pada saat hari pertanggungjawaban itu mereka tidak ingin menjadi manusia.

Ayam adalah mahluk yang kehidupannya membawa manfaat dengan diambil telur dan dagingnya. Ia adalah salah satu mahluk yang tidak akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Meski demikian, ia memiliki kebiasaan yang baik yakni suka bangun pagi – untuk menjemput rizkinya dan disiplin pulang. Alhasil begitu fajar menyingsing mereka saling bersahutan membangunkan para makhluk-Nya di alam mayapada ini.

Nah, jangan sampai kita kalah dengan ayam, sahabat. Ia senantiasa terbangun menjelang fajar dengan kokok dan koteknya, kita justru masih tidur mendengkur. Mereka sudah bergerak menjemput rizkinya, kita justru masih berselimut mimpi-mimpi panjang.

Kita adalah makhluk yang kemuliaannya bisa mengungguli para malaikat, sekaligus kehinaannya bisa mem-bawah-i para binatang. Saat kita menjadi pribadi pribadi yang bertaqwa, kemuliaan kita akan mengungguli para malaikat yang mulia. Sebaliknya, saat kita berlaku durhaka, derajat kita bisa lebih rendah daripada binatang yang paling hina.

Menggunakan ayam sebagai pembanding, ibarat mengadu berlomba antara sarjana dengan anak-anak TK. Jika menang tidak membawa kemuliaan, sebaliknya bila kalah justru memalukan. Pelajaran yang bisa diambil adalah jangan sampai kita kalah.

Bagaimana agar pertarungan itu tetap membawa kemuliaan? Petarung sejati memilih bangun pagi lantaran malu kepada dirinya sendiri. Malu bila dirinya penuh kemalasan. Padahal kampung dunia bukan tempat untuk bermalas-malasan. Kampung dunia adalah tempat untuk bekerja keras. Adapun kampung tempat bermalas-malasan adanya diakhirat – surga, karena tidak ada lagi beban ibadah sebagaimana berlaku di dunia.

Ya, awalnya bersainglah dengan ayam dalam kecepatan bangun pagi. Selanjutnya, tingkatkan pertarungan dengan melawan diri kita sendiri. Adapun tingkatan malu yang lebih tinggi dari itu adalah rasa malu kita kepada Allah SWT. Kita malu kepada-Nya lantaran sudah diberikan nikmat yang sangat banyak, namun dipanggil sebentar saja enggan memenuhi. Padahal Allah pun tidak sekedar memanggil, tetapi juga memberikan hadiah istimewa – yakni pahala, surga, dan ridha-Nya.

Diambil dari buku Dahsyatnya bangun pagi, tahajud, subuh dan dhuha – Fadlan al-Ikhwani

Related Posts :

0 Response to "MEMBURU REZEKI DENGAN BANGUN PAGI"

Post a Comment

Perubahan Sosial