“Salah satu ciri seorang
pemenang adalah memiliki kebiasaan bangun di pagi hari. Mereka tidak
menyia-nyiakan kesempatan yang tidak akan datang kedua kali sepanjang
hidupnya.”
Jangan kalah dengan Ayam
Lukman
Al-Hakim, orang tua yang bijak yang namanya diabadikan dalam Al-Qur’an, pernah
memberikan nasihat kepada putranya, “Wahai
anakku, jangan sampai ayam jantan lebih cerdas daripada dirimu. Ia berkokok
pada akhir malam, sementara engkau tertidur pulas.”
Ayam
dan semua binatang di alam semesta ini, tidak akan dimintai pertanggungjawaban
terhadap usia yang telah dihabiskannya di dunia. Mereka tidak dibebankan
memikul kewajiban di pundaknya. Sedangkan kita – para manusia – adalah mahluk
yang penuh resiko. Segala perbuatan kita – baik atau buruk – akan dimintai
pertanggugjawaban di sisi Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Isra’
ayat 36: “Dan janganlah kamu mengikuti
apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan, dan hati, semua akan dimintai pertanggungan jawabnya.”
Dan
dalam surat Fushsilat ayat 22 : “kamu
sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan,
dan kulitmu padamu, bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan
dari apa yang kamu kerjakan.”
Dari
Abu Barzah Nadlah bin Ubaid Al-Aslamiy RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Kedua kaki seseorang tidak akan
bergerak, sebelum ditanya tentang umurnya, untuk apa ia habiskan. Tentang
ilmunya, untuk apa ia pergunakan. Tentang hartanya, dari mana ia peroleh dan
untuk apa ia belanjakan. Dan tentang badannya, untuk apa ia rusakkan.” (HR.
At-Tirmidzi)
Pertanggungjawaban
di akhirat sangatlah berat. Segala perbuatan kita akan dikupas habis di akhirat
nanti. Itulah sebabnya, banyak diantara orang-orang saleh mengeluh. Seandainya
bisa, mereka tidak ingin dijadikan sebagai manusia. Seandainya bisa, pada hari
kebangkitan nanti mereka menjadi benda lain, asal bukan menjadi manusia.
Inilah
penuturan Abu Bakar Ash-Shidiq, “Aku
hanya ingin menjadi sepotong rambut di samping seorang hamba yang mukmin.”
Inilah penuturan Umar bin Khatab RA sambil tangannnya mengambil segenggam
tanah: “Seandainya aku hanya seperti
segenggam tanah ini. Seandainya aku tidak diciptakan menjadi manusia.
Seandainya ibuku tidak melahirkanku, seandainya aku tidak jadi apa-apa, dan
seandainya sama sekali tidak diingat orang.”
Padahal
kita tahu mereka berdua adalah para Sahabat terbaik Rasulullah SAW yang telah
dijamin masuk surga. Namun, rasa takutnya kepada Allah menyebabkan kegembiraan
itu seakan lenyap, dan yang ada dipelupuk mata adalah besarnya
pertanggungjawaban yang harus dilaporkan nanti di akhirat.
Pernyataan
semacam itu bukan berarti tidak ridha terhadap takdir-Nya. Pernyataan seperti
itu mewakili perasaan takutnya terhadap siksa Allah di akhirat. Alhasil
seandainya bisa, pada saat hari pertanggungjawaban itu mereka tidak ingin
menjadi manusia.
Ayam
adalah mahluk yang kehidupannya membawa manfaat dengan diambil telur dan
dagingnya. Ia adalah salah satu mahluk yang tidak akan dimintai
pertanggungjawaban di akhirat. Meski demikian, ia memiliki kebiasaan yang baik
yakni suka bangun pagi – untuk menjemput rizkinya dan disiplin pulang. Alhasil
begitu fajar menyingsing mereka saling bersahutan membangunkan para makhluk-Nya
di alam mayapada ini.
Nah,
jangan sampai kita kalah dengan ayam, sahabat. Ia senantiasa terbangun
menjelang fajar dengan kokok dan koteknya, kita justru masih tidur mendengkur.
Mereka sudah bergerak menjemput rizkinya, kita justru masih berselimut
mimpi-mimpi panjang.
Kita
adalah makhluk yang kemuliaannya bisa mengungguli para malaikat, sekaligus
kehinaannya bisa mem-bawah-i para binatang. Saat kita menjadi pribadi pribadi
yang bertaqwa, kemuliaan kita akan mengungguli para malaikat yang mulia.
Sebaliknya, saat kita berlaku durhaka, derajat kita bisa lebih rendah daripada
binatang yang paling hina.
Menggunakan
ayam sebagai pembanding, ibarat mengadu berlomba antara sarjana dengan
anak-anak TK. Jika menang tidak membawa kemuliaan, sebaliknya bila kalah justru
memalukan. Pelajaran yang bisa diambil adalah jangan sampai kita kalah.
Bagaimana
agar pertarungan itu tetap membawa kemuliaan? Petarung sejati memilih bangun
pagi lantaran malu kepada dirinya sendiri. Malu bila dirinya penuh kemalasan.
Padahal kampung dunia bukan tempat untuk bermalas-malasan. Kampung dunia adalah
tempat untuk bekerja keras. Adapun kampung tempat bermalas-malasan adanya
diakhirat – surga, karena tidak ada lagi beban ibadah sebagaimana berlaku di
dunia.
Ya,
awalnya bersainglah dengan ayam dalam kecepatan bangun pagi. Selanjutnya,
tingkatkan pertarungan dengan melawan diri kita sendiri. Adapun tingkatan malu
yang lebih tinggi dari itu adalah rasa malu kita kepada Allah SWT. Kita malu
kepada-Nya lantaran sudah diberikan nikmat yang sangat banyak, namun dipanggil
sebentar saja enggan memenuhi. Padahal Allah pun tidak sekedar memanggil,
tetapi juga memberikan hadiah istimewa – yakni pahala, surga, dan ridha-Nya.
Diambil dari buku Dahsyatnya bangun pagi, tahajud, subuh dan dhuha –
Fadlan al-Ikhwani
0 Response to "MEMBURU REZEKI DENGAN BANGUN PAGI"
Post a Comment